SELAMAT DATANG..........................

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Laman

Kamis, 17 Maret 2011

Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural


Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural


Mukadimah

          Bantuan hukum atau biasa dikenal dengan BH  atau LBH hampir terdapat dimana-mana terutama dikampus. Tidak saja di Perguruan Tinggi tetapi juga merambah ke organisasi sosial keagamaan dan politik. Sayang kehadiran orok bernama LBH ini awalnya diperuntukkan bagi kaum miskin atau biasa disebut mereka dalam kelompok yang dimiskinkan. Akan tetapi sekarang telah menjamur diamana-mana bahkan kita kadang sulit membedakan mana yang LBH beneran atau mana yang LBH awu-awu alias mencari profit.
          Kehadiran LBH ini, tidak seperti kantor-kantor pengacara murni, tetapi dalam melakukan advokasinya (pembelaan) biasanya berpola pada pendekatan korban kebijakan, artinya dari serangkaian kebijakan negara siapa yang paling dirugikan  dalam hal inilah LBH kemudian berpihak yaitu berpihak kepada Buruh, Nelayan, Petani dan Kelompok Miskin kota (Ramiskot).
          Pemberian bantuan hukum kepada kelompok marginal atau biasa disebut kelompok yang kurang diuntungkan dalam proses pembangunan tidak sekedar bersifat Charity, artinya merupakan belas kasihan dari pemerintah untuk sekedar menjalankan program APBN dan atau APBD serta program bantuan sumber dana yang lain (Funding), akan tetapi lebih merupakan pemberdayaan atas akses informasi serta adanya ruang yang sama dalam koridor negara hukum tanpa membeda-bedakan.
          Hukum harus dipahami sebagai alat rekayasa sosial (tool enginering), bertugas menata ulang peran hukum dalam kontek adanya kepastian hukum dan keadilan. Sekali lagi pemahaman akan arti Keadilan menjadi kata kunci yang harus dimiliki oleh setiap penyelenggara Negara,  Eksekutif, Legislatif dan Jajaran Kepolisian, Kejaksaan serta  Hakim.
          Dalam pandangan Bantuan Hukum Struktural lebih melihat kemiskinan adalah manifestasi dari sebuah kebijakan negara yang salah, artinya masih adanya paradigma yang kuat bahwa aparatur negara bukan sebagai pelayan masyarakat, budaya birokrasi yang kurang menguntungkan, perlakuan tidak sama didepan hukum, serta ketimpangan sosial yang lain.

Hak Sipil dan Politik Menuju Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

          Dalam aras Fondamental Norm bangsa Indonesia telah Jelas dituangkan dalam amanat konstitusinya melalui Amandemen UUD 1945, terutama yang menyangkut nilai-niali dasar Hak Asasi Manusia, tentang kebebasan berserikat dan berkumpul, menjalankan keyakinan agamanya, dst (instrumen inilah dalam konteks Hak Asasi Manusia disebut sebut hak yang tidak bisa dikurangi oleh Negara). Begitu juga dengan Hak dasar tentang memperoleh pendidikan, pekerjaan yang layak, kesehatan dst ( Inilah kemudian dalam intrumen Hak Asasi Manusia disebut dengan Hak Ekonomi dan Sosial Budaya).
          Dalam konteks inilah kemudian menimbulkan fenomena klasik yang tidak terpecahkan : Bagaimana mungkin Hak Ekonomi dan Sosial Budaya bisa terpenuhi sementara hak Sipil dan Politik saja tidak terpenuhi. Artinya apa, dalam konteks yang sederhana Bagaimana mungkin Petani, Nelayan, Buruh dan rakyat miskin kota  dapat terpenuhi hak Ekonomi dan Sosial budaya untuk berkumpul dan berserikat sudah susah/dilarang, dipersulit.
Penanggulangan kemiskinan menggunakan pendekatan berbasis Hak menjadi bagian yang tidak terpisahkan.  Salah satu tugas Negara disamping memenuhi hak Ekonomi dan Sosial tersebut, juga mempunyai kewajiban sebagai penjamin atas keberlangsungannya.
   Agar terjamin keberlangsungannya negara mempunyai andil besar untuk dapat memenuhi (to Fullfil) dan dijamin dalam bentuk regulasi yang cukup memihak kepada Rakyat korban.

Pemberdayaan bukan Charity

Kebijakan yang memihak berdasarkan alas hak masyarakat sangat diperlukan. Hal ini seiring dengan peran dan tanggungjawab negara. Karena Faktanya selama ini tidak jarang kita jumpai masyarakat hanya sekedar dijadikan obyek semata, ibaratnya hanya didatangi bilamana menjelang Pemilu atau Pilkada, ini agak lumayan, ketimbang tempo dulu, tidak pernah di sapa baik menjelang pemilu atau sudah Pemilu. Tragisnya tidak jarang kita jumpai tidak pernah kenal atau mengetahui siapa perwakilan kita yang duduk di lembaga Legislatif, termasuk juga pimpinan Kepala Daerah yang hampir bisa dipastikan. Kini suasana berbeda untuk pemilihan Pilkada Langsung di Jawa Timur saja sampai III Putaran, biaya yang dihabiskan memang mahal, hanya untuk memenuhi cita-cita demokrasi. Demokrasi dengan biaya mahal tersebut tidak akan bermakna apa-apa manakalah muatan demokrasi terkesampingkan.
Dalam menegakkan demokrasi kemudian menjadi kata kunci kedaulatan ditangan rakyat, artinya rakyatlah yang jaya makmur sebagaimana cita-cita dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian tidak semestinya rakyat dijadikan obyek semata, dan bahkan dijadikan coba-coba karena resiko salah atas kebijakan akan berakibat fatal bagi kelangsungan rakyat.  Sehingga rakyat tidak lagi hanya dilihat sebagai orang yang harus didermakan, atau dibelaskasihani. Semoga Pemberantasan kemisikan dengan mengkedepankan alas hak rakyat menjadi barometer kita untuk mengukur seberapa besar tingkat keberhasilan program yang dibuat. Semoga.
 (BY ALI MA'SUM SH)  Hak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar