SELAMAT DATANG..........................

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Laman

Sabtu, 19 Maret 2011

HAK ATAS TANAH YANG BERSIFAT TETAP DAN SEMENTARA

MACAM-MACAM HAK ATAS TANAH BERSIFAT TETAP DAN 
HAK ATAS TANAH YANG BERSIFAT SEMENTARA

HAK ATAS TANAH Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah.

Ciri khas dari hak atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hak atas tanah berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang menjadi haknya. Hak–hak atas tanah yang dimaksud ditentukan dalam pasal 16 jo pasal 53 UUPA, antara lain:
  1. Hak Milik
  2. Hak Guna Usaha
  3. Hak Guna Bangunan
  4. Hak Pakai
  5. Hak Sewa
  6. Hak Membuka Tanah
  7. Hak Memungut Hasil Hutan

Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang ditetapkan oleh undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam pasal 53.


Dalam pasal 16 UU Agraria disebutkan adanya dua hak yang sebenarnya bukan merupakan hak atas tanah yaitu hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan karena hak–hak itu tidak memberi wewenang untuk mempergunakan atau mengusahakan tanah tertentu. Namun kedua hak tersebut tetap dicantumkan dalam pasal 16 UUPA sebagai hak atas tanah hanya untuk menyelaraskan sistematikanya dengan sistematika hukum adat. Kedua hak tersebut merupakan pengejawantahan (manifestasi) dari hak ulayat. Selain hak–hak atas tanah yang disebut dalam pasal 16, dijumpai juga lembaga–lembaga hak atas tanah yang keberadaanya dalam Hukum Tanah Nasional diberi sifat “sementara”. Hak–hak yang dimaksud antara lain :
  1. Hak gadai,
  2. Hak usaha bagi hasil,
  3. Hak menumpang,
  4. Hak sewa untuk usaha pertanian.

Hak–hak tersebut bersifat sementara karena pada suatu saat nanti sifatnya akan dihapuskan. Oleh karena dalam prakteknya hak–hak tersebut menimbulkan pemerasan oleh golongan ekonomi kuat pada golongan ekonomi lemah (kecuali hak menumpang). Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan asas–asas Hukum Tanah Nasional (pasal 11 ayat 1). Selain itu, hak–hak tersebut juga bertentangan dengan jiwa dari pasal 10 yang menyebutkan bahwa tanah pertanian pada dasarnya harus dikerjakan dan diusahakan sendiri secara aktif oleh orang yang mempunyai hak. Sehingga apabila tanah tersebut digadaikan maka yang akan mengusahakan tanah tersebut adalah pemegang hak gadai. Hak menumpang dimasukkan dalam hak–hak atas tanah dengan eksistensi yang bersifat sementara dan akan dihapuskan karena UUPA menganggap hak menumpang mengandung unsur feodal yang bertentangan dengan asas dari hukum agraria Indonesia. Dalam hak menumpang terdapat hubungan antara pemilik tanah dengan orang lain yang menumpang di tanah si A, sehingga ada hubungan tuan dan budaknya. Feodalisme masih mengakar kuat sampai sekarang di Indonesia yang oleh karena Indonesia masih dikuasai oleh berbagai rezim. Sehingga rakyat hanya menunngu perintah dari penguasa tertinggi. Sutan Syahrir dalam diskusinya dengan Josh Mc. Tunner, pengamat Amerika (1948) mengatakan bahwa feodalisme itu merupakan warisan budaya masyarakat Indonesia yang masih rentan dengan pemerintahan diktatorial. Kemerdekaan Indonesia dari Belanda merupakan tujuan jangka pendek. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah membebaskan Indonesia dari pemerintahan yang sewenang–wenang dan mencapai kesejahteraan masyarakat. Pada saat itu, Indonesia baru saja selesai dengan pemberontakan G 30 S/PKI. Walaupun PKI sudah bisa dieliminir pada tahun 1948 tapi ancaman bahaya totaliter tidak bisa dihilangkan dari Indonesia. Pasal 16 UUPA tidak menyebutkan hak pengelolaan yang sebetulnya hak atas tanah karena pemegang hak pengelolaan itu mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang menjadi haknya. Dalam UUPA, hak–hak atas tanah dikelompokkan sebagai berikut :

1.Hak atas tanah yang bersifat tetap, terdiri dari :
a. Hak Milik
b. Hak Guna Usaha
c. Hak Guna Bangunan
d. Hak Pakai
e. Hak Sewa Tanah Bangunan
f.  Hak Pengelolaan

2.Hak atas tanah yang bersifat sementara, terdiri dari :
a. Hak Gadai
b. Hak Usaha Bagi Hasil
c. Hak Menumpang
d. Hak Sewa Tanah Pertanian

Pencabutan Hak Atas Tanah Maksud dari pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan tanah secara paksa oleh negara yang mengakibatkan hak atas tanah itu hapus tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau lalai dalam memenuhi kewajiban hukum tertentu dari pemilik hak atas tanah tersebut. Menurut Undang–undang nomor 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah dan benda–benda diatasnya hanya dilakukan untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama milik rakyat merupakan wewenang Presiden RI setelah mendengar pertimbangan apakah benar kepentingan umum mengharuskan hak atas tanah itu harus dicabut, pertimbangan ini disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, serta menteri lain yang bersangkutan. Setelah Presiden mendengar pertimbangan tersebut, maka Presiden akan mengeluarkan Keputusan Presiden yang didalamnya terdapat besarnya ganti rugi untuk pemilik tanah yang haknya dicabut tadi. Kemudian jika pemilik tanah tidak setuju dengan besarnya ganti rugi, maka ia bisa mengajukan keberatan dengan naik banding pada pengadilan tinggi.

JENIS HAK ATAS TANAH

JENIS HAK ATAS TANAH

Secara umum, istilah Hak dapat diartikan sebagai wewenang yang diberikan oleh peraturan perundangan atas sesuatu untuk menguasainya secara penuh, jika hal itu berkaitan dengan tanah, itu berarti Hak atas tanah. UU No. 5 / 1960 ( Agraria / UUPA ) menegaskan bahwa hubungan Bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah hubungan yang abadi, artinya dalam keadaan apapun hubungan itu tetaplah exist;

Pemberian hak atas tanah oleh Negara, selanjutnya diwujudkan kedalam berbagai aneka jenis hak - hak atas tanah ( Pasal 16 ayat 1 UUPA ) yang disesuaikan dengan sifat penggunaan dan peruntukkan tanahnya, antara lain seperti :

  1. Hak  Milik ( HM ) adalah hak yang tertinggi, karena memiliki beberapa keistimewaan, antara lain seperti : Jangka waktunya tak terbatas ( berlangsung terus menerus ), dapat diwariskan, terkuat & terpenuh, dapat dialihkan kepada pihak lain dan hanya WNI / Badan Hukum Indonesia yang ditunjuk saja, yang dapat memilikinya;

  1. Hak Guna Usaha ( HGU ) adalah hak untuk mengusahakan kegiatan Pertanian ( Perkebunan, Peternakan, Perikanan ) diatas tanah negara selama lamanya 35 Tahun dan dapat diperpanjang selama lamanya 30 Tahun. Hak ini dapat dialihkan kepada pihak lain , dan hanya WNI / Badan Hukum Indonesia saja yang dapat memilikinya;

  1. Hak Guna Bangunan ( HGB ) adalah hak untuk mendirikan bangunan diatas tanah negara selama lamanya 30 Tahun dan dapat diperpanjang selama lamanya 25 Tahun, dapat dialihan kepada pihak lain dan hanya WNI / Badan Hukum Indonesia saja yang dapat memilikinya;

  1. Hak Pakai ( HP ) adalah hak untuk menggunakan tanah negara / tanah milik orang lain untuk suatu kegiatan tertentu saja. Hak ini dapat dimiliki oleh semua pihak, seperti WNI, WNA, Badan Hukum Indonesia / Asing. Jika hak ini dimiliki oleh Perorangan jangka waktunya selama 25 Tahun, dan jika dimiliki oleh Badan Hukum jangka waktunya selama dipergunakan;

  1. Hak Pengelolaan ( HPL ) adalah wewenang yang diberikan oleh Negara untuk mengatur dan menggunakan tanah negara untuk keperluan sendiri dan pihak lain selama dipergunakan untuk keperluan tertentu. HPL tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Hak ini hanya dapat dimiliki oleh Instansi Pemerintah dan Badan Hukum Indonesia saja;

Semua jenis hak atas tanah tersebut diatas dapat dibebani dengan Hak Tanggungan ( jaminan kredit ) kecuali Hak Pengelolaan ( HPL ).

Kamis, 17 Maret 2011

Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural


Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural


Mukadimah

          Bantuan hukum atau biasa dikenal dengan BH  atau LBH hampir terdapat dimana-mana terutama dikampus. Tidak saja di Perguruan Tinggi tetapi juga merambah ke organisasi sosial keagamaan dan politik. Sayang kehadiran orok bernama LBH ini awalnya diperuntukkan bagi kaum miskin atau biasa disebut mereka dalam kelompok yang dimiskinkan. Akan tetapi sekarang telah menjamur diamana-mana bahkan kita kadang sulit membedakan mana yang LBH beneran atau mana yang LBH awu-awu alias mencari profit.
          Kehadiran LBH ini, tidak seperti kantor-kantor pengacara murni, tetapi dalam melakukan advokasinya (pembelaan) biasanya berpola pada pendekatan korban kebijakan, artinya dari serangkaian kebijakan negara siapa yang paling dirugikan  dalam hal inilah LBH kemudian berpihak yaitu berpihak kepada Buruh, Nelayan, Petani dan Kelompok Miskin kota (Ramiskot).
          Pemberian bantuan hukum kepada kelompok marginal atau biasa disebut kelompok yang kurang diuntungkan dalam proses pembangunan tidak sekedar bersifat Charity, artinya merupakan belas kasihan dari pemerintah untuk sekedar menjalankan program APBN dan atau APBD serta program bantuan sumber dana yang lain (Funding), akan tetapi lebih merupakan pemberdayaan atas akses informasi serta adanya ruang yang sama dalam koridor negara hukum tanpa membeda-bedakan.
          Hukum harus dipahami sebagai alat rekayasa sosial (tool enginering), bertugas menata ulang peran hukum dalam kontek adanya kepastian hukum dan keadilan. Sekali lagi pemahaman akan arti Keadilan menjadi kata kunci yang harus dimiliki oleh setiap penyelenggara Negara,  Eksekutif, Legislatif dan Jajaran Kepolisian, Kejaksaan serta  Hakim.
          Dalam pandangan Bantuan Hukum Struktural lebih melihat kemiskinan adalah manifestasi dari sebuah kebijakan negara yang salah, artinya masih adanya paradigma yang kuat bahwa aparatur negara bukan sebagai pelayan masyarakat, budaya birokrasi yang kurang menguntungkan, perlakuan tidak sama didepan hukum, serta ketimpangan sosial yang lain.

Hak Sipil dan Politik Menuju Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

          Dalam aras Fondamental Norm bangsa Indonesia telah Jelas dituangkan dalam amanat konstitusinya melalui Amandemen UUD 1945, terutama yang menyangkut nilai-niali dasar Hak Asasi Manusia, tentang kebebasan berserikat dan berkumpul, menjalankan keyakinan agamanya, dst (instrumen inilah dalam konteks Hak Asasi Manusia disebut sebut hak yang tidak bisa dikurangi oleh Negara). Begitu juga dengan Hak dasar tentang memperoleh pendidikan, pekerjaan yang layak, kesehatan dst ( Inilah kemudian dalam intrumen Hak Asasi Manusia disebut dengan Hak Ekonomi dan Sosial Budaya).
          Dalam konteks inilah kemudian menimbulkan fenomena klasik yang tidak terpecahkan : Bagaimana mungkin Hak Ekonomi dan Sosial Budaya bisa terpenuhi sementara hak Sipil dan Politik saja tidak terpenuhi. Artinya apa, dalam konteks yang sederhana Bagaimana mungkin Petani, Nelayan, Buruh dan rakyat miskin kota  dapat terpenuhi hak Ekonomi dan Sosial budaya untuk berkumpul dan berserikat sudah susah/dilarang, dipersulit.
Penanggulangan kemiskinan menggunakan pendekatan berbasis Hak menjadi bagian yang tidak terpisahkan.  Salah satu tugas Negara disamping memenuhi hak Ekonomi dan Sosial tersebut, juga mempunyai kewajiban sebagai penjamin atas keberlangsungannya.
   Agar terjamin keberlangsungannya negara mempunyai andil besar untuk dapat memenuhi (to Fullfil) dan dijamin dalam bentuk regulasi yang cukup memihak kepada Rakyat korban.

Pemberdayaan bukan Charity

Kebijakan yang memihak berdasarkan alas hak masyarakat sangat diperlukan. Hal ini seiring dengan peran dan tanggungjawab negara. Karena Faktanya selama ini tidak jarang kita jumpai masyarakat hanya sekedar dijadikan obyek semata, ibaratnya hanya didatangi bilamana menjelang Pemilu atau Pilkada, ini agak lumayan, ketimbang tempo dulu, tidak pernah di sapa baik menjelang pemilu atau sudah Pemilu. Tragisnya tidak jarang kita jumpai tidak pernah kenal atau mengetahui siapa perwakilan kita yang duduk di lembaga Legislatif, termasuk juga pimpinan Kepala Daerah yang hampir bisa dipastikan. Kini suasana berbeda untuk pemilihan Pilkada Langsung di Jawa Timur saja sampai III Putaran, biaya yang dihabiskan memang mahal, hanya untuk memenuhi cita-cita demokrasi. Demokrasi dengan biaya mahal tersebut tidak akan bermakna apa-apa manakalah muatan demokrasi terkesampingkan.
Dalam menegakkan demokrasi kemudian menjadi kata kunci kedaulatan ditangan rakyat, artinya rakyatlah yang jaya makmur sebagaimana cita-cita dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian tidak semestinya rakyat dijadikan obyek semata, dan bahkan dijadikan coba-coba karena resiko salah atas kebijakan akan berakibat fatal bagi kelangsungan rakyat.  Sehingga rakyat tidak lagi hanya dilihat sebagai orang yang harus didermakan, atau dibelaskasihani. Semoga Pemberantasan kemisikan dengan mengkedepankan alas hak rakyat menjadi barometer kita untuk mengukur seberapa besar tingkat keberhasilan program yang dibuat. Semoga.
 (BY ALI MA'SUM SH)  Hak